Gerakan Mahasiswa Global dan Indonesia: Beberapa Aspek Kritis

Syarahil Efendi
16 min readMar 17, 2023
Sumber Foto JP/Budhi Button. The JakartaPost “EDITORIAL: Perppu’s slippery slope”.

Gerakan mahasiswa di Indonesia menghadapi kritik, di antaranya atas terfragmentasi dan kurangnya arah yang jelas. Beberapa kritik kritis menyasar pada kelumpuhan struktural aktivisme mahasiswa, yaitu bahwa mahasiswa saat ini menjadi lebih fokus pada gerakan simbolik dan masalah jangka pendek, daripada membahas masalah struktural yang lebih dalam yang mendasari masalah politik, hukum, sosial, dan ekologi negara. Kritik juga berputar di sekitar diskursus bahwa gerakan mahasiswa Indonesia sering dikooptasi oleh partai politik atau kelompok kepentingan, yang dapat merusak independensi dan efektivitasnya.

Gerakan mahasiswa, yang menjadi salah satu cabang utama dari gerakan sosial, merupakan gerakan sekelompok mahasiswa, secara kolektif, berorganisasi, membentuk perserikatan, bekerja sama untuk mendorong policy-change, perubahan kebijakan, dengan tujuan akhir perubahan menuju masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Gerakan mahasiswa telah terjadi sepanjang sejarah, dengan berbagai tujuan dan metode, mulai dari mendorong pemajuan hak-hak sipil dan keadilan sosial, hingga memprotes kebijakan dan praktik ketidakbijakan pemerintah. Kita sebutkan di sini beberapa contoh gerakan mahasiswa yang monumental, yaitu di dalamnya termasuk Gerakan Hak Sipil di Amerika Serikat, protes Mei 1968 di Prancis, protes Lapangan Tiananmen di Tiongkok, dan aksi pemogokan iklim, pada beberapa tahun terakhir ini yang dipimpin oleh aktivis muda di seluruh dunia. Digarisbawahi pada di seluruh dunia.

Gerakan mahasiswa umumnya, meskipun terkadang tidak terbatas pada hal ini, melibatkan protes yang dipimpin mahasiswa, sit-in atau pendudukan, dan bentuk pembangkangan sipil lainnya, serta upaya pengorganisasian dan lobi untuk mempengaruhi pembuat kebijakan dan opini publik. Gerakan-gerakan ini dapat berdampak signifikan pada masyarakat, dan harus mengarah pada perubahan yang amat berarti dalam jangka panjang. Gerakan mahasiswa, memang tidak berada dalam ruang hampa, ia harus merespons masalah-masalah terdekat yang muncul dalam skala per-hari, yang berdampak kritis kepada rakyat. Akan tetapi, meski demikian, dampak yang dihasilkan dapat saja berlaku dalam jangka panjang.

Indonesia memiliki sejarah yang kaya akan aktivisme mahasiswa dan gerakan mahasiswa, khususnya pada masa pasca-kemerdekaan. Salah satu gerakan mahasiswa yang paling signifikan di Indonesia adalah protes mahasiswa yang terjadi pada tahun 1998, yang memainkan peran penting dalam membawa kejatuhan rezim otoriter Presiden Soeharto. Gerakan mahasiswa 1998 dimulai sebagai tanggapan terhadap krisis keuangan Asia dan penanganan ekonomi oleh pemerintah, serta kebijakan represif dan pelanggaran hak asasi manusia oleh rezim. Protes dimulai di Jakarta, dengan mahasiswa menuntut demokrasi yang lebih besar dan pemberantasan korupsi dan nepotisme. Seketika demonstrasi segera menyebar ke kota-kota lain di Indonesia dan tidak hanya melibatkan mahasiswa, tetapi juga kelompok masyarakat sipil dan lapisan masyarakat lainnya.

Gerakan ini memuncak dalam serangkaian protes pada Mei 1998, yang melihat puluhan ribu orang turun ke jalan di seluruh Indonesia, yang mengarah pada pengunduran diri Presiden Soeharto. Peristiwa ini menandai titik balik yang signifikan dalam sejarah politik Indonesia, mengantarkan periode reformasi demokrasi dan iklim politik yang lebih terbuka. Sejak itu, gerakan mahasiswa terus memainkan peran aktif dalam politik Indonesia, mengadvokasi berbagai isu seperti hak asasi manusia, hak buruh, dan perlindungan lingkungan. Sejalan dengan meningkatnya kuantitas dan kualitas gerakan mahasiswa, berbanding lurus dengan upaya pemerintah menindak protes mahasiswa, yang menyebabkan bentrokan dengan polisi dan penangkapan aktivis, dalam skala mikro, dan pelemahan serta pelumpuhan besar-besaran gerakan mahasiswa secara skala makro.

Chili dan Gerakan Mahasiswa

Chili sering disebut-sebut sebagai salah satu benchmark menonjol dari gerakan mahasiswa di seluruh dunia yang paling berhasil. Pada tahun 2011, mahasiswa Chili meluncurkan kampanye protes dan pemogokan yang meluas dan berkelanjutan, menuntut reformasi pada sistem pendidikan negaranya, yang mereka lihat, amat tidak setara dan tidak dapat diakses oleh banyak mahasiswa. Gerakan itu, yang kemudian dikenal sebagai “Chilean Winter,” menyatukan koalisi dan perserikatan luas organisasi mahasiswa, serikat pekerja, dan kelompok masyarakat sipil, dan menarik dukungan dari seluruh masyarakat Chili. Protes tersebut melibatkan demonstrasi jalanan besar-besaran, aksi pendudukan, dan bentrokan dengan polisi, serta aktivisme dan kampanye media sosial.

Gerakan mahasiswa Chili berhasil menempatkan reformasi pendidikan di bagian atas agenda politik, memaksa pemerintah untuk terlibat dalam negosiasi dengan para pemimpin mahasiswa dan akhirnya mengarah pada pengesahan beberapa RUU reformasi pendidikan yang signifikan. Reformasi ini mencakup peningkatan pendanaan untuk pendidikan publik, peningkatan akses beasiswa dan pinjaman mahasiswa, dan partisipasi mahasiswa yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan.

Gerakan mahasiswa Chili telah diakui secara luas karena keefektifannya dan kemampuannya untuk memobilisasi dan mempertahankan gerakan sosial massif. Oleh karenanya, Chili menjadi percontohan dan kiblat bagi mahasiswa lain di seluruh dunia, khususnya di Amerika Latin, dan berfungsi sebagai contoh, bagaimana mahasiswa dapat menggunakan tindakan kolektif untuk membawa perubahan sosial.

Beberapa Aspek Isu Gerakan Mahasiswa

Ada banyak isu yang diadvokasi oleh gerakan mahasiswa, tergantung pada konteks sosial, politik, dan ekonomi di mana mereka berada, dan dalam bagian ini, secara umum gerakan mahasiswa mengadvokasikan isu-isu berikut, dan Indonesia khususnya, masih tertinggal dalam aspek-aspek berikut:

Akses ke pendidikan. Banyak gerakan mahasiswa berfokus pada advokasi untuk akses yang lebih besar ke pendidikan, terutama untuk kelompok yang terpinggirkan, dan daerah-daerah tertinggal. Hal ini mencakup masalah-masalah seperti biaya kuliah yang terjangkau, keringanan biaya kuliah mahasiswa, dan beasiswa atau bantuan keuangan.

Kualitas pendidikan. Gerakan mahasiswa juga sering berfokus pada kualitas pendidikan, mengadvokasi perbaikan kurikulum, metode pengajaran, dan sumber daya. Hal ini mencakup masalah seperti kualitas sekolah dan infrastruktur pendukung, rasio guru-siswa, dan akses ke teknologi dan sumber daya pendidikan lainnya.

Keadilan dan kesetaraan sosial. Banyak gerakan mahasiswa juga peduli dengan isu-isu keadilan dan kesetaraan sosial yang lebih luas, seperti rasisme, seksisme, dan bentuk diskriminasi lainnya. Di seluruh dunia, mahasiswa mengadvokasi kebijakan yang memajukan perspektif keragaman, kesetaraan, dan inklusi, dan memprotes kebijakan atau praktik diskriminatif.

Isu lingkungan. Gerakan mahasisaw di abad-21 juga harus berfokus pada isu lingkungan seperti krisis iklim, polusi, dan keadilan lingkungan. Mereka mengadvokasi kebijakan yang mempromosikan transisi energi, konservasi, dan pembangunan yang inklusif, serta memprotes kebijakan atau praktik yang menghancurkan ekosistem, dan membawa umat manusia ke dalam kepunahan massal.

Reformasi politik dan demokrasi. Gerakan mahasiswa telah dan harus mengadvokasi reformasi politik dan demokrasi, seperti transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan. Mahasiswa harus memprotes korupsi, otoritarianisme, dan bentuk penyalahgunaan kekuasaan lainnya.

Hak-hak buruh. Memperluas jangkauannya, gerakan mahasiswa telah dan berkewajiban juga berfokus pada hak-hak buruh, terutama isu-isu yang berkaitan dengan pekerja atau di industri lain. Mereka mungkin mengadvokasi upah yang lebih tinggi, kondisi kerja yang lebih baik, dan perlindungan terhadap eksploitasi atau diskriminasi.

Hak-hak disabilitas, penguatan perempuan, dan pengarusutamaan kelompok marjinal. Salah satu isu yang diadvokasi oleh gerakan mahasiswa di Indonesia adalah hak-hak penyandang disabilitas, penguatan perempuan, dan pengarusutamaan kelompok marjinal. Para aktivis mahasiswa telah dan harus menyerukan inklusi dan aksesibilitas yang lebih besar bagi penyandang disabilitas dan perempuan dalam pendidikan dan masyarakat. Penyandang disabilitas menghadapi banyak hambatan dalam mengakses pendidikan dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat, termasuk lingkungan fisik yang tidak dapat diakses, diskriminasi, dan kurangnya layanan dukungan.

Melihat Lebih Dalam ke Dalam Aspek-Aspek Tersebut

Akses ke pendidikan adalah masalah mendasar bagi banyak gerakan mahasiswa, terutama bagi kelompok marjinal dan kurang terwakili yang menghadapi hambatan untuk mengakses pendidikan karena kendala keuangan atau sosial. Di Chili, gerakan mahasiswa 2011, yang telah dibahas sebelumnya, sebagian besar difokuskan pada akses ke pendidikan. Mahasiswa Chili telah lama menghadapi biaya kuliah yang tinggi dan kurangnya dana untuk universitas negeri, yang telah menyulitkan mayoritas mahasiswa, terutama mereka yang berasal dari latar belakang berpenghasilan rendah, untuk mengakses pendidikan tinggi. Gerakan mahasiswa Chili berhasil mendorong beberapa reformasi yang bertujuan untuk meningkatkan akses ke pendidikan, termasuk peningkatan pendanaan untuk universitas negeri dan pengenalan reformasi pinjaman mahasiswa.

Dalam kasus Amerika Serikat, utang mahasiswa telah menjadi masalah utama, dengan banyak yang berjuang untuk membayar utang tinggi setelah lulus. Gerakan mahasiswa AS telah mengadvokasi biaya kuliah yang terjangkau dan keringanan utang mahasiswa, termasuk pengampunan pinjaman mahasiswa dan penyediaan pendidikan tinggi gratis atau berbiaya rendah. Baru-baru ini, pemerintahan Biden telah mengusulkan reformasi yang bertujuan mengurangi beban utang mahasiswa, termasuk pembatalan hingga $10.000 dalam pinjaman mahasiswa federal perpeminjam.

Dalam hal Indonesia, akses pendidikan masih menjadi tantangan yang signifikan, terutama bagi siswa di pedesaan atau daerah terpencil. Siswa dan mahasiswa masih menghadapi hambatan keuangan dan sosial untuk mengakses pendidikan tinggi. Gerakan mahasiswa di Indonesia masih kurang dalam mengadvokasi reformasi yang bertujuan untuk meningkatkan akses ke pendidikan, termasuk peningkatan pendanaan untuk universitas negeri dan penyediaan beasiswa dan bantuan keuangan bagi siswa dari latar belakang berpenghasilan rendah. Akses terhadap pendidikan berkualitas masih menjadi tantangan yang signifikan. Sistem Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka yang dikeluarkan Kemendikbud, masih dalam tataran rendah mengenai pembahasan dampak jangka panjang, serta implikasi etisnya terhadap sistem pendidikan, ditambah dengan kritik terhadap jerat neoliberalisme dan kapitalisme dalam pendidikan Indonesia. Sistem pendidikan negara kita juga menghadapi masalah seperti kurikulum yang ketinggalan zaman, ruang kelas yang penuh sesak, dan akses terbatas ke teknologi dan sumber daya. Gerakan mahasiswa di Indonesia kurang dalam mengadvokasi berbagai reformasi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, termasuk lebih banyak investasi dalam pelatihan guru, sumber daya dan fasilitas yang lebih baik untuk sekolah, dan akses yang lebih besar ke teknologi dan materi pembelajaran lainnya.

Di banyak negara di Global Selatan, akses ke pendidikan berkualitas adalah masalah utama. Gerakan mahasiswa di negara-negara ini, umumnya mengadvokasi masalah sumber daya dan infrastruktur yang rendah untuk sekolah, termasuk akses ke teknologi dan materi untuk pembelajaran. Misalnya, di Afrika Selatan, gerakan mahasiswa telah menyerukan pemerintah untuk menyediakan dana yang lebih baik untuk sekolah, terutama yang berada di daerah pedesaan dan berpenghasilan rendah. Di Nigeria, gerakan mahasiswa juga mengadvokasi investasi yang lebih besar dalam pendidikan dan peningkatan kualitas pengajaran dan sumber daya.

Akses ke pendidikan akan terus menjadi masalah utama bagi gerakan mahasiswa di seluruh dunia, terutama karena pandemi COVID-19 telah menyoroti ketidaksetaraan dalam sistem pendidikan dan memperburuk kesenjangan yang ada dalam akses ke pendidikan. Gerakan mahasiswa kemungkinan akan terus mengadvokasi kebijakan yang bertujuan meningkatkan akses ke pendidikan, mengurangi beban utang mahasiswa, dan mempromosikan kesetaraan dalam pendidikan.

Gerakan mahasiswa haruslah tidak hanya berfokus pada reformasi pendidikan tetapi juga pada isu-isu keadilan sosial dan kesetaraan yang lebih luas. Gerakan ini menyerukan diakhirinya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok marjinal, termasuk masyarakat adat, dan perempuan. Kita harus menuntut representasi yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan dan mengadvokasi kebijakan yang mempromosikan keragaman, kesetaraan, dan inklusi.

Banyak gerakan mahasiswa telah secara aktif memprotes rasisme sistemik, seksisme, dan bentuk diskriminasi lainnya. Di Afrika Selatan, misalnya, gerakan “Rhodes Must Fall” menyerukan penghapusan patung-patung era kolonial dan untuk dekolonisasi pendidikan. Di Brasil, gerakan mahasiswa telah vokal dalam mengutuk rasisme dan diskriminasi terhadap orang Afro-Brasil dan komunitas adat.

Di Indonesia, gerakan mahasiswa kurang dalam mengadvokasi keadilan dan kesetaraan sosial, terutama dalam kaitannya dengan isu-isu diskriminasi terhadap kelompok marjinal. gerakan mahasiswa haruslah menyerukan representasi yang lebih besar dari masyarakat adat dan kelompok marjinal lainnya dalam proses pengambilan keputusan, dan untuk kebijakan yang mempromosikan keragaman, kesetaraan, dan inklusifitas.

Ke depan, kemungkinan gerakan mahasiswa akan terus fokus pada isu-isu keadilan sosial dan pemerataan, khususnya terkait diskriminasi terhadap kelompok marjinal. Mereka haruslah cenderung mengadvokasi kebijakan yang mempromosikan representasi dan partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan, serta kebijakan yang membahas rasisme sistemik, seksisme, dan bentuk diskriminasi lainnya. Selain itu, gerakan mahasiswa harus mendorong inklusifitas dan keragaman yang lebih besar dalam lingkungan pendidikan, sebagai cara untuk mempromosikan kesetaraan dan keadilan sosial yang lebih besar.

Ada banyak komunitas adat atau adat yang telah menghadapi diskriminasi dan marginalisasi selama beberapa dekade. Komunitas-komunitas ini sering berada di daerah terpencil dan memiliki praktik budaya dan sosial unik mereka sendiri yang berbeda dari masyarakat Indonesia arus utama. Namun, mereka telah lama menghadapi tekanan untuk berasimilasi dengan budaya dominan, erosi budaya, dan hilangnya tanah dan sumber daya karena perampasan korporasi dan negara.

Gerakan mahasiswa di Indonesia belum mengadvokasikan dengan baik representasi yang lebih besar dari masyarakat adat atau adat dalam proses pengambilan keputusan, serta untuk kebijakan yang mempromosikan keragaman, kesetaraan, dan inklusifitas. Salah satu contohnya adalah kurangnya suara dan dorongan gerakan mahasiswa untuk mendesak pemerintah mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat, serta menyasar kritik-kritik yang timbul pula, yang dalam cita-cita idealnya akan mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya mereka, dan menyediakan kerangka kerja untuk partisipasi masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan. Gerakan mahasiswa juga belum mengadvokasi pengakuan hukum adat dan praktik masyarakat adat, yang telah lama diabaikan atau diberhentikan oleh negara.

Gerakan mahasiswa juga harus berperan dalam meningkatkan kesadaran tentang diskriminasi dan marginalisasi yang dihadapi oleh masyarakat adat atau adat, dan bekerja untuk membangun aliansi dengan komunitas ini untuk memajukan tujuan mereka. Hal ini mencakup penyelenggaraan acara dan kampanye pendidikan yang menyoroti praktik budaya dan sosial yang unik dari komunitas, serta mengadvokasi kebijakan yang mengatasi akar penyebab diskriminasi dan marginalisasi. Gerakan mahasiswa dapat memainkan peran penting dalam mempromosikan keadilan sosial dan kesetaraan bagi masyarakat adat Indonesia dengan mengadvokasi representasi dan pengakuan yang lebih besar atas hak-hak mereka, serta bekerja untuk membangun solidaritas dan aliansi antara berbagai kelompok marjinal.

Isu lingkungan telah menjadi perhatian utama bagi gerakan mahasiswa di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang, tetapi masih kurang disuarakan oleh mahasiswa Indonesia. Padahal, Indonesia seringkali lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim dan degradasi lingkungan, dan secara historis telah mengalami ketidakadilan lingkungan seperti kekeringan, banjir, kegagalan panen dan degradasi lahan. Gerakan mahasiswa di negara-negara berkembang harus memprotes kebijakan atau praktik yang berbahaya bagi lingkungan. Kita harus menyerukan investasi yang lebih besar dalam energi terbarukan dan infrastruktur terbarukan, serta untuk kebijakan yang mengurangi emisi dan mempromosikan keadilan lingkungan.

Salah satu contohnya adalah gerakan Fridays for Future, yang dimulai oleh mahasiswa Swedia Greta Thunberg dan telah menyebar ke banyak negara di seluruh dunia. Gerakan ini menyerukan tindakan mendesak terhadap krisis iklim dan kehancuran ekologi, dan telah mengorganisir protes dan pemogokan massal untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah ini.

Prospek masa depan gerakan lingkungan yang dipimpin mahasiswa di Indonesia belum begitu menjanjikan, tetapi telah ada banyak anak muda yang menyadari pentingnya perlindungan dan keberlanjutan lingkungan. Gerakan-gerakan ini menghadapi banyak tantangan, termasuk perlawanan dari kepentingan ekonomi dan politik yang kuat, serta sumber daya dan dukungan yang terbatas. Terlepas dari tantangan ini, gerakan mahasiswa harus senantiasa memainkan peran penting dalam meningkatkan kesadaran tentang masalah lingkungan dan mengadvokasi kebijakan yang mempromosikan keberlanjutan dan keadilan lingkungan.

Salah satu contoh gerakan lingkungan yang dipimpin mahasiswa di negara berkembang adalah Indian Youth Climate Network, yang didirikan pada tahun 2008 dan telah mengadvokasi aksi iklim dan keberlanjutan di India. Jaringan ini telah menyelenggarakan beberapa kampanye dan acara, termasuk “India Climate Solutions Road Tour”, yang bertujuan untuk menampilkan solusi lokal untuk perubahan iklim dan mempromosikan praktik berkelanjutan. Di Global Selatan, gerakan mahasiswa telah aktif dalam mengadvokasi keadilan dan keberlanjutan lingkungan. Misalnya, Gerakan “Movement of People Affected by Dams” di Brasil telah mengorganisir protes dan kampanye menentang pembangunan bendungan pembangkit listrik tenaga air besar, yang sering menggusur masyarakat setempat dan menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan.

Kritik bermunculan, berpendapat bahwa gerakan lingkungan seringkali tidak memiliki tujuan dan strategi yang jelas, bahwa gerakan ini belum berhasil menekan pemerintah dan kepentingan kuat lainnya untuk mengambil tindakan yang berarti terhadap masalah lingkungan. Selain itu, ada kekhawatiran tentang kepentingan politik dan keuangan yang terkadang mempengaruhi kampanye lingkungan yang dipimpin mahasiswa di Indonesia. Terlepas dari kritik ini, prospek masa depan gerakan lingkungan yang dipimpin mahasiswa di Indonesia haruslah kuat dan dilanjutkan perkembangannya. Gerakan-gerakan ini perlu mengatasi tantangan sumber daya yang terbatas, perlawanan politik, dan konflik kepentingan.

Reformasi politik dan demokrasi sangat penting untuk pengembangan dan keberlanjutan masyarakat demokratis manapun. Banyak gerakan mahasiswa di negara-negara berkembang dan Global South sangat peduli dengan mengadvokasi reformasi semacam itu, karena wilayah ini sering menghadapi tantangan terkait korupsi, otoritarianisme, dan kurangnya transparansi dalam proses pengambilan keputusan.

Gerakan mahasiswa juga memainkan peran kunci dalam mengadvokasi reformasi politik dan demokrasi, terutama di era pasca-Soeharto. Gerakan-gerakan kita telah menyerukan transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar di lembaga pemerintah, serta proses pengambilan keputusan yang lebih inklusif dan partisipatif. Kita juga memprotes korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia. Namun, gerakan mahasiswa di Indonesia juga menghadapi kritik karena terfragmentasi dan kurangnya arah yang jelas. Beberapa kritik berpendapat bahwa aktivisme mahasiswa di Indonesia menjadi lebih fokus pada gerakan simbolik dan masalah jangka pendek, daripada membahas masalah struktural yang lebih dalam yang mendasari masalah politik dan sosial negara.

Selain itu, kritik mengatakan bahwa gerakan mahasiswa di Indonesia telah menjadi terlalu dekat dengan partai politik atau kelompok kepentingan tertentu, yang mengarah pada tuduhan keberpihakan dan kurangnya independensi gerakan. Gerakan mahasiswa perlu mempertahankan independensi dan objektivitasnya, dan fokus pada advokasi isu-isu sosial yang lebih luas daripada kepentingan politik yang sempit. Gerakan mahasiswa di Indonesia memiliki potensi untuk memainkan peran yang lebih besar dalam mempromosikan reformasi politik dan demokrasi, terutama karena negara kita terus menghadapi tantangan terkait korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, dan otoritarianisme. Namun, agar efektif, gerakan kita perlu mengatasi fragmentasi internalnya dan mempertahankan independensinya dan fokus pada isu-isu masyarakat yang lebih luas.

Kritik bahwa gerakan mahasiswa di Indonesia terfragmentasi dan tidak memiliki arah yang jelas memiliki dasar dalam kenyataan. Meskipun ada protes penting yang dipimpin mahasiswa dalam beberapa tahun terakhir, seperti demonstrasi 2019 menentang RKUHP yang kontroversial dan protes 2020 terhadap Omnibus Law Cipta Kerja, gerakan ini secara keseluruhan sering dianggap tidak memiliki agenda yang jelas atau kepemimpinan yang bersatu, dan dalam fakta empirisnya, kedua produk hukum tersebut sekarang telah disahkan dan masih menjadi tantangan bagi mahasiswa untuk menghadapinya. Sebagian alasan fragmentasi ini mungkin karena besarnya ukuran mahasiswa yang tersebar di kepulauan yang luas dan mencakup berbagai latar belakang sosial ekonomi, etnis, dan tradisi budaya. Perpecahan Badan Eksekutif Seluruh Indonesia juga menjadi satu faktor sentral lumpuhnya gerakan mahasiswa. Hal ini menyulitkan mahasiswa untuk bersatu dan membentuk gerakan yang kohesif dengan visi bersama untuk perubahan.

Selain itu, beberapa kritik berpendapat bahwa gerakan mahasiswa di Indonesia menjadi terlalu fokus pada isu-isu simbolis jangka pendek, daripada membahas masalah struktural yang lebih dalam yang mendasari masalah politik dan sosial negara. Misalnya, meskipun protes 2019 terhadap KUHP dan protes 2020 terhadap Omnibus Law sama-sama berhasil menarik perhatian publik dan memaksa pemerintah untuk merespons, mereka tidak serta merta membahas akar penyebab masalah yang diprotes. Kritik juga bermunculan, bahwa gerakan mahasiswa di Indonesia sering dikooptasi oleh partai politik atau kelompok kepentingan, yang dapat merusak independensi dan efektivitasnya. Dalam beberapa kasus, para pemimpin mahasiswa telah dituduh menerima dukungan finansial atau bentuk lain dari kelompok-kelompok ini, yang dapat membahayakan kemampuan mereka untuk bertindak sebagai suara asli untuk perubahan.

Namun, terlepas dari kritik tersebut, masih ada harapan untuk masa depan gerakan mahasiswa di Indonesia. Banyak anak muda di negara ini sangat terlibat dalam masalah sosial dan politik, dan ada indikasi bahwa kita menjadi lebih terorganisir dan aktif secara politik. Selain itu, kemajuan teknologi dan media sosial telah memudahkan mahasiswa untuk terhubung satu sama lain dan berorganisasi secara lebih efektif, yang dapat membantu mengatasi beberapa tantangan yang ditimbulkan oleh geografi Indonesia yang luas.

Secara keseluruhan, meskipun tentu saja ada kritik yang valid terhadap gerakan mahasiswa di Indonesia, jelas bahwa kaum muda di negara ini tetap berkomitmen untuk mendorong reformasi politik dan demokrasi. Dengan kepemimpinan dan dukungan yang tepat, kita, mahasiswa mungkin dapat mengatasi tantangan yang kita hadapi dan membuat dampak signifikan pada masa depan negara kita.

Pada aspek berikutnya, hak-hak buruh adalah masalah kritis, dan gerakan mahasiswa telah memainkan peran kunci dalam mengadvokasi hak-hak pekerja. Misalnya, di Bangladesh, mahasiswa telah memprotes eksploitasi pekerja di industri garmen, yang merupakan sumber utama pekerjaan dan pendapatan devisa bagi negara. Protes ini telah membantu meningkatkan kesadaran akan perlunya kondisi kerja yang lebih baik, upah yang lebih tinggi, dan perlindungan terhadap diskriminasi dan pelecehan.

Dalam negara kita, gerakan mahasiswa belum begitu berdampak dalam mengadvokasi hak-hak buruh. Mahasiswa telah dan harus menyerukan kondisi kerja yang lebih baik, upah yang lebih tinggi, dan perlindungan terhadap eksploitasi dan diskriminasi. Namun, gerakan ini telah menghadapi tantangan dalam mendapatkan daya tarik pada isu-isu ini, karena hak-hak buruh sering dilihat sebagai prioritas yang lebih rendah dibandingkan dengan isu-isu lain seperti akses ke pendidikan dan reformasi politik.

Selain itu, kritik bermunculan bahwa mahasiswa di Indonesia belum berbuat cukup banyak untuk mengatasi masalah struktural yang lebih luas yang berkontribusi pada eksploitasi dan diskriminasi tenaga kerja, seperti undang-undang dan penegakan hukum perburuhan yang lemah, dan dominasi industri tertentu oleh elit yang kuat. Agar gerakan mahasiswa dapat membuat dampak yang lebih besar pada hak-hak buruh, ada kebutuhan untuk kolaborasi yang lebih besar dengan serikat pekerja dan kelompok lain yang mengadvokasi hak-hak pekerja, serta pendekatan yang lebih strategis yang membahas tujuan jangka pendek dan jangka panjang.

Dalam hal prospek masa depan Indonesia, negara kita menghadapi tantangan yang signifikan dalam menangani hak-hak tenaga kerja, terutama karena ekonomi terus bergeser ke sektor jasa dan manufaktur. Gerakan mahasiswa harus memainkan peran penting dalam mengadvokasi hak-hak pekerja, tetapi perlu lebih strategis dan kolaboratif dalam pendekatannya, dan mengatasi masalah struktural yang lebih dalam yang berkontribusi pada eksploitasi dan diskriminasi tenaga kerja.

Mengenai permasalahan akses bagi disabilitas, penguatan perempuan, dan pengarusutamaan kelompok marjinal, Kasus empiris dari hal ini adalah unjuk rasa yang dipentaskan oleh aktivis mahasiswa di Universitas Indonesia pada tahun 2016. Mahasiswa UI menuntut fasilitas dan layanan yang lebih baik bagi mahasiswa penyandang disabilitas, serta kebijakan yang mempromosikan hak-hak penyandang disabilitas. Protes tersebut menyebabkan pimpinan universitas setuju untuk menyediakan lebih banyak layanan dukungan bagi mahasiswa penyandang disabilitas, seperti transportasi dan fasilitas yang dapat diakses.

Isu lain yang harus terus menjadi fokus gerakan mahasiswa di Indonesia adalah pemberdayaan perempuan. Aktivis mahasiswa telah dan harus senantiasa menyerukan kesetaraan gender yang lebih besar dan promosi hak-hak perempuan, termasuk kebijakan yang menangani kekerasan berbasis gender, diskriminasi, dan akses yang tidak setara ke pendidikan dan kesempatan kerja. Mereka berpendapat bahwa perempuan menghadapi banyak hambatan untuk mencapai potensi penuh mereka, termasuk norma budaya dan harapan sosial yang membatasi peluang mereka.

Bukti empiris dari ini adalah kampanye “Rally Against Rape” yang diluncurkan oleh aktivis mahasiswa di Indonesia pada tahun 2018. Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang kekerasan seksual dan menuntut tindakan yang lebih besar oleh pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Kampanye ini mencakup protes dan aktivisme online, dan menyebabkan pemerintah memperkenalkan kebijakan baru untuk mengatasi kekerasan dan pelecehan seksual.

Terakhir, gerakan mahasiswa di Indonesia juga telah mengadvokasi hak-hak komunitas yang terpinggirkan, termasuk masyarakat adat dan etnis minoritas, Papua menjadi satu contohnya. Para aktivis mahasiswa telah menyerukan representasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok ini dalam proses pengambilan keputusan, serta kebijakan yang mempromosikan hak-hak mereka dan melindungi budaya dan tradisi mereka.

Gerakan Mahasiswa dan Aliansi

Membentuk aliansi menjadi cara yang efektif bagi gerakan mahasiswa untuk meningkatkan kekuatan dan pengaruh kolektif mereka. Berikut beberapa praktik terbaik untuk membentuk aliansi berdasarkan contoh sukses dari seluruh dunia.

Membangun koalisi. Gerakan mahasiswa harus membentuk koalisi dengan kelompok mahasiswa lain, serikat pekerja, organisasi masyarakat sipil, dan gerakan sosial lainnya untuk memperkuat pesan mereka dan meningkatkan dampaknya. Contohnya ialah gerakan mahasiswa Chili membentuk aliansi dengan serikat pekerja dan gerakan sosial lainnya untuk mendorong reformasi pendidikan.

Memanfaatkan media sosial. Media sosial harus menjadi alat yang ampuh, di luar cara konvensional, untuk membentuk aliansi dan mengorganisir aksi kolektif. Gerakan mahasiswa harus pula menggunakan platform media sosial untuk terhubung dengan kelompok dan individu lain yang memiliki tujuan dan nilai yang sama, dan untuk memobilisasi dukungan untuk tujuan mereka. Gerakan #FeesMustFall di Afrika Selatan dan gerakan #YoSoy132 di Meksiko adalah contoh gerakan mahasiswa yang sukses yang secara efektif memanfaatkan media sosial untuk memobilisasi dukungan.

Terlibat dalam dialog. Gerakan mahasiswa juga harus membentuk aliansi dengan terlibat dalam dialog dengan pembuat kebijakan, pimpinan universitas, dan pemangku kepentingan lainnya. Dengan mengkomunikasikan tuntutan dan keprihatinan mereka secara konstruktif dan hormat, gerakan mahasiswa harus membangun hubungan dengan pembuat keputusan utama dan meningkatkan kemungkinan tuntutan terpenuhi.

Berpartisipasi dalam jaringan internasional. Gerakan mahasiswa harus membentuk aliansi dengan gerakan mahasiswa lain di seluruh dunia melalui jaringan internasional seperti Gerakan Mahasiswa Internasional. Dengan berbagi ide dan strategi dengan gerakan mahasiswa lainnya, dan dengan saling mengadvokasi tujuan masing-masing, gerakan mahasiswa harusmembangun gerakan global untuk perubahan.

Dalam kasus Chili, gerakan mahasiswa berhasil membentuk aliansi dengan gerakan sosial lainnya untuk mendorong reformasi pendidikan. Konfederasi Mahasiswa Chili (CONFECH) membentuk koalisi dengan serikat pekerja dan kelompok adat untuk menuntut akses yang lebih besar ke pendidikan dan pendidikan berkualitas lebih baik. Gerakan ini juga memanfaatkan media sosial untuk memobilisasi dukungan dan terlibat dalam dialog dengan pembuat kebijakan dan administrator universitas.

Secara keseluruhan, praktik-praktik untuk memajukan gerakan mahsiswa harus meliputi focus pada pembangunan koalisi, pemanfaatan media sosial, pelibatan dalam dialog, dan berpartisipasi dalam jaringan internasional. Dengan bekerja sama dengan gerakan sosial seluruhnya, yang memiliki tujuan dan nilai yang sama, gerakan mahasiswa dapat meningkatkan kekuatan dan pengaruh kolektif mereka dan bekerja untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan merata.

Pada akhirnya, selamat kepada saudara Hilmi Ash-Shidiqi, Ketua dan/atau Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sebelas Maret 2023, yang telah ditunjuk secara musyawarah mufakat pada Musyawarah Nasional Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia Rakyat Bangkit (BEM SI Rakyat Bangkit) untuk menjadi Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia. Semoga kapal besar BEM UNS dan BEM SI, di tangan saudara, dapat berlayar dengan Tangguh, sampai kepada pulau harapan yang masyarakat Indonesia cita-citakan.

--

--